Halaman

Minggu, 15 Juni 2014

Pesan dan Puisi dalam novel Ketika Cinta Bertasbih



Banyak sekali pelajaran dan pesan-pesan kebaikan yang dapat kita ambil dalam novel ketika cinta bertasbih, berikut sebagian pesan-pesan tersebut semoga bermanfaat:


#Orang yang memiliki semangat, ia akan mencintai semua yang dihadapinya.


# "Tetaplah puas melakukan perbuatan yang baik. Dan biarkanlah orang lain membicarakan dirimu sesuka mereka. “

# Agar siapa saja yang ingin dililuaskan rezekinya, hendaklah ia melakukan silaturrahmi.

#The formula for succes is simp le: practice and concentration then more practice and more concentration.  (Rumus keberhasilan adalah simpel saja, yaitu praktik dan konsentrasi kemudian meningkatkan praktik dan meningkatkan konsentrasi).

#Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang  tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.

#"Untuk mengetahui ilmumu bermanfaat atau tidak cukuplah kau  lihat bekasnya. Jika dengan itu kau semakin takut kepada Allah dan semakin baik ibadahmu kepada-Nya, maka itulah tanda ilmumu benar-benar bermanfaat. Jika sebaliknya maka berhati-hatilah, Saudaraku!"

#Tidak  ada yang bisa mengusir syahwat atau kecintaan pada kesenangnn duniawi selain rasa takut kepada Allah yang menggetarkan hati, atau rasa rindu kepada Allah yang membuat hati merana!(Ibnu Athaillah)

#”Seorang mukmin tidaklah mengambil faidah yang lebih baik setelah takwa kepada Allah dari isteri yang shalihah; yang jika dia menyuruh isterinya maka isteri itu mentaatinya, jika melihatnya isteri itu menyenangkannya, jika bersumpah atas nama isterinya maka isterinya itu memenuhinya, dan jika suami tidak di rumah maka isteri itu menjaga harta dan kehormatan suaminya.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hadits no. 1847




Puisi

Cinta sejati itu tidak menzalimi.
Cinta sejati berorientasi ridha Ilahi.
Allah Allah Allahu Rabbi.
Aku cinta dirimu duhai bidadari.
Tapi aku lebih cinta Tuhanku, Ilahi, Rabbi.
(Fadhil buat Tiara)

Puisi dari Anna Althafunisa:
Sekalipun cinta telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar.
Namun jika cinta kudatangi aku jadi malu pada keteranganku sendiri.
Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang.
Namun tanpa lidah, cinta ternyata lebih terang
Sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya
Kata-kata pecah berkeping-keping begitu sampai kepada cinta
Dalam menguraikan cinta, akal terbaring tak berdaya
Bagaikan keledai terbaring dalam lumpur
Cinta sendirilah yang menerangkan cinta
Dan percintaan!"

Puisi dari Ayyatul Husna:
Kau mencintaiku Seperti bumi Mencintai titah Tuhannya.
Tak pernah lelah Menanggung beban derita Tak pernah lelah Menghisap luka
Kau mencintaiku Seperti matahari Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah Membagi cerah cahaya Tak pernah lelah Menghangatkan jiwa
Kau mencintaiku Seperti air Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah Membersihkan lara Tak pernah lelah Menyejukkan dahaga
Kau mencintaiku Seperti bunga Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelahMenebar mekar aroma bahagia Tak pernah lelah Meneduhkan gelisah nyala

Ibu,
aku mencintaimu
 seperti laut
mencintai airnya
tak mau kurang
selamanya
(Puisi Azzam buat Ibunya)

Sebagai tambahan berikut adalah pidato motivasi dari Azzam buat para Santri:
”Para santri Pesantren Wangen yang saya cintai. Jujur saya tidak siap untuk membacakan Tafsir Jalalain. Saya tidak punya persiapan apa-apa. Saya tidak mau ngawur dalam memahami tafsir ayat-ayat suci Al-Quran. Sebagai gantinya saya akan sedikit bercerita saja. Semoga ada gunanya.

Saya awali dari sebuah kisah yang sangat menggugah  saya. Suatu siang, saat saya masih kuliah di Universitas Al Azhar Kairo, sekitar tahun 1999 saya membeli majalah Al ij’uu Al Islami yang diterbitkan oleh Kementerian Wakaf Kuwait. Sampai di flat, karena lelah, yang saya baca dulu adalah suplemen majalah itu. Yaitu majalah tipis untuk anak, namanya Bara’imul Iman.

Dalam keadaan lelah saya memang biasa membaca bacaan yang ringan dan menghibur. Pokoknya harus tetap membaca. Termasuk majalah anak-anak. Bahkan, saat itu saya juga sering membaca komik Donal Bebek versi bahasa Arabnya. Selain ringan, lucu, menghibur, seringkali saya juga menemukan kosa kata baru dan lucu dalam bahasa Arab. Jadi dalam lelah pun masih tetap bisa mendapatkan manfaat berlipat.

Di majalah Bara’imul Iman yang saya pegang itu saya menemukan sebuah kisah yang sangat bergizi dan memotivasi. Sebuah kisah fabel yang sangat menggugah dan inspiratif judulnya Kisah Seekor Anak Singa.

Alkisah, di sebuah hutan belantara ada seekor induk singa yang mati setelah melahirkan anaknya. Bayi singa yang lemah itu hidup tanpa perlindungan induknya. Beberapa waktu kemudian serombongan kambing datang melintasi tempat itu. Bayi singa itu menggerak-gerakkan tubuhnya yang lemah. Seekor induk kambing  tergerak hatinya. Ia merasa iba melihat anak singa yang lemah dan hidup sebatang kara. Dan terbitlah nalurinya untuk merawat dan melindungi bayi singa itu.

Sang induk kambing lalu menghampiri bayi singa itu dan membelai dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Merasakan hangatnya kasih sayang seperti itu, sibayi singa tidak mau berpisah dengan sang induk kambing. Ia terus mengikuti ke mana saja induk kambing pergi. Jadilah ia bagian dari keluarga besar rombongan kambing itu.

Hari berganti hari, dan anak singa tumbuh dan besar dalam asuhan induk kambing dan hidup dalam komunitas kambing. Ia menyusu, makan, minum, bermain bersama anak-anak kambing lainnya. Tingkah lakunya juga layaknya kambing. Bahkan anak  singa yang mulai berani dan besar itu pun mengeluarkan suara layaknya kambing yaitu mengembik bukan mengaum!

la merasa dirinya adalah kambing, tidak berbeda dengan kambing-kambing lainnya. Ia sama sekali tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah seekor singa.

Suatu hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala buas masuk memburu kambing untuk dimangsa. Kambing-kambing berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing yang juga ketakutan meminta anak singa itu untuk menghadapi serigala.

”Kamu singa, cepat hadapi serigala itu! Cukup keluarkan aumanmu yang keras dan serigala itu pasti lari ketakutan!” Kata induk kambing pada anak singa yang sudah tampak besar dan kekar.

Tapi anak singa yang sejak kecil hidup di tengah-tengah komunitas kambing itu justru ikut ketakutan dan malah berlindung di balik tubuh induk kambing. Ia berteriak sekeras-kerasnya dan yang keluar dari mulutnya adalah suara embikan. Sama seperti kambing yang lain bukan auman. Anak singa itu tidak bisa berbuat apa-apa ketika salah satu anak kambing yang tak lain adalah saudara sesusuannya diterkam dan dibawa lari serigala.

Induk kambing sedih karena salah satu anaknya tewas dimakan serigala. Ia menatap anak singa dengan perasaan nanar dan marah,
 ”Seharusnya kamu bisa membela kami! Seharusnya kamu bisa menyelamatkan saudaramu! Seharusnya bisa mengusir serigala yang jahat itu!”

Anak singa itu hanya bisa menunduk. Ia tidak paham dengan maksud perkataan induk kambing. Ia  sendiri  merasa takut pada serigala sebagaimana kambing-kambing lain. Anak singa itu merasa sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Hari berikutnya serigala ganas itu datang lagi. Kembali memburu kambing-kambing untuk disantap. Kali ini induk kambing tertangkap dan telah dicengkeram oleh serigala. Semua kambing tidak ada yang berani menolong. Anak singa itu tidak kuasa melihat induk kambing yang telah ia anggap sebagai ibunya dicengkeram serigala. Dengan nekat ia lari dan menyeruduk serigala itu. Serigala kaget bukan kepalang melihat ada seekor singa di hadapannya. Ia melepaskan cengkeramannya.

Serigala itu gemetar ketakutan! Nyalinya habis! Ia pasrah, ia merasa hari itu adalah akhir hidupnya!

Dengan kemarahan yang luar biasa anak singa itu berteriak keras, ”Emmbiiik!”
 Lalu ia mundur ke belakang. Mengambil ancang ancang untuk menyeruduk lagi.

Melihat tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan licik itu langsung tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah singa yang bermental kambing. Tak ada bedanya dengan kambing.

Seketika itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram marah dan siap memangsa kambing bertubuh singa itu! Atau singa bermental kambing itu!

Saat anak singa itu menerjang dengan menyerudukkan  kepalanya layaknya kambing, sang serigala telah siap dengan kuda-kudanya yang kuat. Dengan sedikit berkelit, serigala itu merobek wajah anak singa itu dengan cakarnya. Anak singa itu terjerembab dan mengaduh, seperti kambing mengaduh. Sementara induk kambing menyaksikan peristiwa itu dengan rasa cemas yang luar biasa. Induk kambing itu heran, kenapa singa yang kekar itu kalah dengan serigala. Bukankah singa adalah raja hutan?

Tanpa memberi ampun sedikitpun serigala itu menyerang anak singa yang masih mengaduh itu. Serigala itu siap menghabisi nyawa anak singa itu. Di saat yang kritis itu, induk kambing yang tidak tega, dengan sekuat tenaga menerjang sang serigala. Sang  serigala terpelanting. Anak singa bangun.

Dan pada saat itu, seekor singa dewasa muncul dengan auman yang dahsyat!

Semua kambing ketakutan dan merapat! Anak singa itu juga ikut takut dan ikut merapat. Sementara sang serigala langsung lari terbirit-birit. Saat singa dewasa hendak menerkam kawanan kambing itu, ia terkejut di tengah-tengah kawanan kambing itu ada seekor anak singa.

Beberapa ekor kambing lari, yang lain langsung lari. Anak singa itu langsung ikut lari. Singa itu masih tertegun. Ia heran kenapa anak singa itu ikut lari mengikuti kambing? Ia mengejar anak singa itu dan berkata,

”Hai kamu jangan lari! Kamu anak singa, bukan kambing! Aku tak akan memangsa anak singa!”

Namun anak singa itu terus lari dan lari. Singa dewasa itu terus mengejar. Ia tidak jadi mengejar kawanan kambing, tapi malah mengejar anak singa. Akhirnya anak singa itu tertangkap. Anak singa itu ketakutan,

”Jangan bunuh aku, ammpuun!”
”Kau anak singa, bukan anak kambing. Aku tidak membunuh anak singa!”

Dengan meronta-ronta anak singa itu berkata, ”Tidak aku anak kambing! Tolong lepaskan aku!”

Anak singa itu meronta dan berteriak keras. Suaranya bukan auman tapi suara embikan, persis seperti suara kambing.

Sang singa dewasa heran bukan main. Bagaimana mungkin ada anak singa bersuara kambing dan bermental kambing. Dengan geram ia menyeret anak singa itu ke danau. Ia harus menunjukkan siapa sebenarnya anak singa itu. Begitu sampai di danau yang jernih airnya, ia meminta anak singa itu melihat bayangan dirinya sendiri. Lalu membandingkan dengan singa dewasa.

Begitu melihat bayangan dirinya, anak singa itu terkejut, ”Oh, rupa dan bentukku sama dengan kamu. Sama dengan singa, si raja hutan!”

”Ya, karena kamu sebenarnya anak singa. Bukan anak  kambing!” Tegas singa dewasa.

”Jadi aku bukan kambing? Aku adalah seekor singa!”

”Ya kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa dan ditakuti oleh seluruh isi hutan! Ayo aku ajari bagaimana menjadi seekor raja hutan!” Kata sang singa dewasa.

Singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh wibawa dan mengaum dengan keras. Anak singa itu lalu menirukan, dan mengaum dengan keras. Ya mengaum, menggetarkan seantero hutan. Tak jauh dari situ serigala ganas itu lari semakin  kencang, ia ketakutan mendengar auman anak singa itu. Anak singa itu kembali berteriak penuh kemenangan,  ”Aku adalah seekor singa! Raja hutan yang gagah perkasa!”

Singa dewasa tersenyum bahagia mendengarnya.

Saya tersentak oleh kisah anak singa di atas! Jangan jangan kondisi kita, dan sebagian besar orang di sekeliling kita mirip dengan anak singa di atas. Sekian lama hidup tanpa mengetahui jati diri dan potensi terbaik yang dimilikinya.

Betapa banyak manusia yang menjalani hidup apa adanya, biasa-biasa saja, ala kadarnya. Hidup dalam keadaan terbelenggu oleh siapa dirinya sebenarnya. Hidup dalam tawanan rasa malas, langkah yang penuh keraguan dan kegamangan. Hidup tanpa semangat hidup yang seharusnya. Hidup tanpa kekuatan nyawa terbaik yang dimilikinya.

Saya amati orang-orang di sekitar saya. Di antara mereka ada yang telah menemukan jati dirinya. Hidup dinamis dan prestatif. Sangat faham untuk apa ia hidup dan bagaimana ia harus hidup. Hari demi hari ia lalui dengan penuh semangat dan optimis. Detik demi detik yang dilaluinya adalah kumpulan prestasi dan rasa bahagia. Semakin besar rintangan menghadap semakin besar pula semangatnya untuk menaklukkannya.

Namun tidak sedikit yang hidup apa adanya. Mereka hidup apa adanya karena tidak memiliki arah yang jelas. Tidak faham untuk apa dia hidup, dan bagaimana ia harus hidup. Saya sering mendengar orang-orang yang ketika ditanya, ”Bagaimana Anda menjalani hidup Anda?” atau ”Apa prinsip hidup Anda?”, mereka menjawab dengan jawaban yang filosofis,

”Saya menjalani hidup ini mengalir bagaikan air. Santai saja.”Tapi sayangnya mereka tidak benar-benar tahu filosofi ’mengalir bagaikan air’. Mereka memahami hidup mengalir bagaikan air itu ya hidup santai. Sebenarnya jawaban itu mencerminkan bahwa mereka tidak tahu bagaimana mengisi hidup ini. Bagaimana cara hidup yang berkualitas. Sebab mereka tidak tahu siapa sebenarnya diri mereka? Potensi terbaik apa yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada mereka. Bisa jadi mereka sebenarnya adalah ’seekor singa’ tapi tidak tahu kalau dirinya ’seekor singa . Mereka menganggap dirinya adalah ’seekor kambing sebab selama ini hidup dalam kawanan kambing.

Filosofi menjalani hidup mengalir bagaikan air yang dimaknai dengan hidup santai saja, atau hidup apa adanya bisa dibilang prototipe,  gaya hidup sebagian besar penduduk negeri ini. Bahkan bisa jadi itu adalah gaya hidup sebagian besar masyarakat dunia Islam saat ini.

Ketika saya pulang kampung, setelah sembilan tahun meninggalkan kampung halaman untuk belajar di Cairo, saya menemukan tidak ada perubahan berarti di kampung halaman saya. Cara berpikir masyarakatnya masih sama. Cara hidupnya masih sama  saja. Pak Anu yang ketika saya masih di SD dulu kerjanya menggali sumur, sampai saya pulang dari Mesir, bahkan sampai saat saya berdiri di mimbar ini juga berprofesi menggali sumur. Bu Anu yang dulu kerjanya menjual air memakai gerobak sampai sekarang juga tidak berubah. Mbak Anu yang dulu jualan krupuk sambal di dekat SD sampai sekarang juga masih di sana dan berjualan dagangan yang sama.

Bahkan teman-teman yang dulu ketika di bangku sekolah dasar terlihat begitu rajin dan cerdas, yang dulu pernah  bercita-cita mau jadi ini dan itu dan saya berharap ia telah meraih cita-citanya sekian tahun berpisah ternyata jauh panggang dari api. Orang-orang yang dulu hidup memprihatinkan ternyata sampai sekarang tidak berubah. Kenapa tidak berubah?

Jawabnya karena mereka tidak mau berubah.

Kenapa tidak mau berubah?

Jawabnya karena mereka tidak tahu bahwa mereka harus berubah. Bahkan kalau mereka tahu mereka harus berubah, mereka tidak tahu bagaimana caranya berubah. Sebab mereka terbiasa hidup pasrah. Hidup tanpa rasa berdaya dalam keluh kesah. Dan cara hidup seperti itu yang terus diwariskan turun-temurun.

Ada seorang sastrawan terkemuka, yang demi melihat kondisi bangsa yang sedemikian akut rasa tidak berdayanya sampai dia mengatakan,

”Aku malu jadi orang Indonesia!”

Di mana-mana, kita lebih banyak menemukan orang orang bermental lemah, hidup apa adanya dan tidak terarah. Orang-orang yang tidak tahu potensi terbaik yang diberikan oleh Allah kepadanya. Orang-orang yang rela ditindas dan dijajah oleh kesengsaraan dan kehinaan. Padahal sebenarnya jika mau, pasti bisa hidup merdeka, jaya, berwibawa dan sejahtera.

Tak terhitung berapa jumlah masyarakat negeri ini yang bermental kambing. Meskipun sebenarnya mereka adalah singa!

Banyak yang minder dengan bangsa lain. Seperti mindernya anak singa bermental kambing pada serigala dalam kisah di atas. Padahal sebenarnya, Bangsa ini adalah  bangsa besar! Ummat ini adalah ummat yang besar!

Bangsa ini sebenarnya adalah singa dewasa yang sebenarnya memiliki kekuatan dahsyat. Bukan bangsa sekawanan kambing. Sekali rasa berdaya itu muncul dalam jiwa anak bangsa ini, maka ia akan menunjukkan pada dunia bahwa ia adalah singa yang tidak boleh diremehkan sedikitpun.

Bangsa ini sebenarnya adalah Sriwijaya yang perkasa menguasai nusantara. Juga sebenarnya adalah Majapahit yang digjaya dan adikuasa. Lebih dari itu bangsa ini, sebenarnya, dan ini tidak mungkin disangkal, adalah ummat Islam terbesar di dunia. Ada dua ratus juta ummat Islam di negeri tercinta Indonesia ini.

Banyak yang tidak menyadari apa makna dari dua ratus juta jumlah ummat Islam Indonesia. Banyak yang tidak sadar. Dianggap biasa saja. Sama sekali tidak menyadari jati diri sesungguhnya.

Dua ratus juta ummat Islam di Indonesia, maknanya adalah dua ratus juta singa. Penguasa belantara dunia. Itulah yang sebenarnya. Sayangnya, dua ratus juta yang sebenarnya adalah singa justru bermental kambing dan berperilaku layaknya kambing. Bukan layaknya singa. Lebih memperihatinkan lagi, ada yang sudah menyadari dirinya sesungguhnya singa tapi memilih untuk tetap menjadi kambing. Karena telah terbiasa menjadi kambing maka ia malu menjadi singa! Malu untuk maju dan berprestasi!

Yang lebih memprihatinkan lagi, mereka yang memilih tetap menjadi kambing itu menginginkan yang lain tetap menjadi kambing. Mereka ingin tetap jadi kambing sebab merasa tidak mampu jadi singa dan merasa nyaman jadi kambing. Yang menyedihkan, mereka tidak ingin orang lain jadi singa. Bahkan mereka ingin orang lain jadi kambing yang lebih bodoh!

Marilah kita hayati diri kita sebagai seekor singa. Allah telah memberi predikat kepada kita sebagai ummat terbaik di muka bumi ini. Marilah kita bermental menjadi ummat terbaik. Jangan bermental ummat yang terbelakang. Allah berfirman,  ”Kalian adalah sebaik-baik ummat yang dilahirkan untuk manusia, karena kalian menyuruh berbuat yang makruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.!”

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!”




4 komentar: